Tidak pernah ada seorang pun yang memiliki kesuksesan hidup seperti
halnya kehidupan Ayub dalam karirnya. Ayub memiliki kekayaan yang luar
biasa banyaknya dan usia yang juga sangat panjang hingga Ayub dapat
melihat anak-cucunya sampai keturunan keempat. Ayub
mendapat rejeki setelah kematian anak-anaknya dan dukacita yang
berturut-turut yang telah menimpanya. Ada kalimat yang susah sekali
dipahami oleh sebagian orang yaitu mengapa Allah tega membuat Ayub susah
dulu sebelum mendapat kekayaan yang begitu rupa.
Ayat 11 pada kalimat : “…malapetaka yang telah ditimpakan TUHAN kepadanya…”.
Kita sering menggunakan istilah kedaulatan Allah. Allah dapat berbuat
apa saja terhadap kita menurut kesukaan-Nya, seperti bola yang
ditendang/dilempar kemana saja tergantung kepada kemauan yang
menendang/melempar. Ada satu istilah di dalam Alkitab pada teks Efesus
1:9 seperti berikut : “Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya,..” Kita memperhatikan teks yang sama dalam King James Bible (Alkitab versi King James) seperti berikut : “having made known to us the mystery of His will, according to His good pleasure which He purposed in Himself,..” Bagian yang ‘menggelitik’ dari ayat ini ialah pada kata ‘good pleasure’.
Menggelitik karena seolah-olah Tuhan mempermainkan/berbuat sesukanya
kepada ciptaan-Nya, tentunya Tuhan tidak seperti itu. Sehingga
kedaulatan Tuhan bisa diterjemahkan ke berbagai terjemahan istilah
lainnya, seperti pada Efesus 1:11 yang lebih serius lagi, “…who works all things according to the counsel of His own will… (Alkitab: “…yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya…”).
Kehendak-Nya bukanlah kehendak yang memaksa sehingga terdapat kata
‘counsel’ pada kalimat ini. Tuhan meng’counsel’kan kehendaknya yang
tidak bisa dirubah kepada kita. Kita hidup di dalam ‘the counsel of His
own will’, kita hidup di dalam ‘His good pleasure’ maka apa pun yang Dia
kerjakan adalah benar-benar menyenangkan-Nya dan kita tidak boleh
curiga sekali pun, sebab begitu kita curiga maka hal itu memberikan
kesempatan, sebenarnya, menemukan kebodohan kita sendiri. Bodoh karena
berprasangka buruk terhadap Tuhan.
Dalam bahasa Ibrani itu ada satu kata yang dalam hal tertentu berubah
menjadi kata ‘jika’ atau ‘andaikata’. Di dalam bhs.Inggris, kita kenal
penggunaan kata ‘if’(‘if clause’), yaitu kalimat yang diciptakan untuk
berbanding dengan kalimat sebelumnya atau sesudahnya dan kalimat ‘if’
ini tidak pernah terjadi. Jikalau kita diijinkan untuk berprasangka
buruk kepada Tuhan maka kita menggunakan kalimat ‘if’ tadi. Kita
terlahir dengan ‘if’ sehingga ‘if’ ini menjadi produk kekuatiran kita
dalam banyak aspek. Maka dari itu tidak heran, Tuhan Yesus mengatakan
bahwa janganlah kuatir untuk hal-hal yang memberatkan kita, seperti hal
makan, minum, pakaian. Betapa repotnya hidup kita bila terlalu banyak
kekuatiran yang justru menambah berat hidup ini.
Kitab Ayub adalah sebuah kitab yang memberikan sindiran berat kepada
pembacanya di segala zaman. Kitab Ayub menyatakan bahwa tidak pernah ada
penderitaan menurut pandangan manusia. Kita tidak boleh membaca kitab
Ayub sebagai penderitaan berdasarkan pandangan kita. Kitab Ayub dengan
berkali-kali/berulang-ulang melecehkan pembaca bahwa penderitaan itu
bukan seperti itu. Bila kita membaca sepotong-sepotong maka seolah-olah
kita melihat teman-teman Ayub berhasil menyelidiki rahasia penderitaan
di balik penderitaan Ayub. Ayub menjadi kaya raya setelah ditimpakan
segala malapetaka, malapetaka yang ditimpakan Tuhan kepada Ayub adalah
malapetaka yang justru bertujuan memulihkan Ayub atau menyaksikan kepada
dunia bahwa bukan Ayub tetapi Tuhan.
Terlebih lagi bila berbicara
mengenai karir/nafkah dalam catatan Ayub ini, yang mengawali semua
adalah Tuhan maka yang mengakhiri semua adalah Tuhan, itulah kehidupan
menurut catatan Ayub. Ayub dihina dan dinilai bukan orang saleh oleh
istrinya serta teman-teman Ayub menilai Ayub sudah ditinggal Tuhan
sehingga percuma bertahan. Kunci penting untuk kita menjadi sukses,
untuk kita benar-benar diberkati, hidup di dalam berkat Tuhan dan di
dalam karir adalah rajinkah kita mengapresiasi pekerjaan Tuhan?
Dengan cara kita mengaku kalah dan salah memperlakukan Tuhan dan segala
pekerjaan-Nya. Memang tidak mudah kita melakukan semua ini. Dalam kitab
Ayub dijelaskan bahwa Ayub menjadi pihak yang sangat pasif sedangkan
Tuhanlah yang aktif dan menyelesaikan semua pekerjaan-Nya itu.
Penyebab
yang menjadikan kita tidak bisa merasakan indahnya pemeliharaan dan
berkat Tuhan adalah diri kita yang terlalu aktif. Bila kita sedang
berjaya, kita lebih cenderung menilai penyebabnya dari faktor kita
tetapi bila kita mengalami keterpurukan, kita lebih cenderung menilai
penyebabnya dari faktor Tuhan, ini yang salah!
Setelah kalimat pada ayat 11, maka Tuhan memulihkan keadaan Ayub.
Tuhan mengembalikan harta kekayaannya lebih besar dari sebelumnya, usia
yang ditambahkan, diberi anak-anak yang cantik yang kecantikannya tidak
ada yang menandingi, lalu akhirnya Ayub meninggal dengan sangat puas di
dalam kehidupannya yang tidak ada duanya dibandingkan orang-orang
sezamannya maupun zaman sesudahnya. Ayub menyaksikan bahwa di balik
semuanya itu, Tuhanlah yang mengerjakan semuanya itu.
Janganlah kita terlalu buru-buru menilai bahwa kesusahan itu adalah
pencobaan atau kesusahan itu dari setan, apalagi kita mengatakan
kesusahan itu dari Tuhan. Sebab kesusahan yang terjadi itu karena diri.
Bila kita telah uji diri sendiri dan bukan karena diri maka loloslah
kita dari kesalahan yang tidak perlu. Tetapi bila kita mengatakan bahwa
kesusahan itu dari ini dan itu dan ternyata penyebabnya adalah dari diri
kita, betapa sangat malunya kita. Maka untuk urusan karir dan berkat,
bila Tuhan memeriksanya, kita tidak akan tahu bagaimana kita
menjawabnya. Bagaimana kita dapat mempertanggung jawabkan semuanya
sedangkan kita terlanjur sombong/arogan dimana seolah-olah segala berkat
dan anugerah itu datang karena kita.
Anugerah Tuhan dinyatakan tanpa
memandang siapa diri kita. Tuhan yang merawat dan menjaga karir/nafkah
kita.
Berbicara soal keluarga, Tuhanlah yang menciptakan keluarga. Berbicara soal karir, Tuhanlah yang memberi karir dan nafkah.
Perlakukanlah Tuhan sebagaimana Dia minta diperlakukan dan bawalah
diri kita sebagaimana Tuhan menetapkan kita sebagaimana harusnya membawa
diri kita, bila melewati ‘batas’ itu maka percuma dan jahat adanya.